Salah satu masalah strategis yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini dan membutuhkan pemecahan secara tepat dalam usaha pemulihan ekonomi Indonesia adalah masalah utang luar negeri. Kegagalan Indonesia di masa lalu dalam mengelola utang telah menyebabkan sebagian masyarakat alergi terhadap utang luar negeri dan menganggapnya sebagai beban yang harus dibayar mahal. Besarnya utang luar negeri saat ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat luas. Adanya utang yang sangat besar tersebut merupakan suatu ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan kemandirian bangsa Indonesia jika tidak dikelola dengan baik.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa kondisi utang Indonesia sudah berada pada tahap krisis dan dan sudah sangat menghawatirkan sehingga mereka menghimbau kepada pemerintah agar tidak lagi melakukan peminjaman dana dari luar negeri. Bahkan issu utang luar negeri ini menjadi wacana kampanye para kandidat capres/cawapres 2009 lalu, Kekhawatiran masyarakat terhadap pembengkakan utang luar negeri ini di picu juga oleh issu ekonomi neoliberal (neolib) yang saat ini sudah masuk dalam ranah politik dan menjadi issu hangat dalam percaturan politik pilpres. dimana para pemegang kebijakan moneter Indonesia yang dituding beraliran neolib dan dekat dengan IMF dikwatirkan akan melakukan pinjaman luar negeri lagi.
Benarkah utang luar negeri Indonesia sudah begitu krisis dan mengkhawatirkan? Apa sesungguhnya neoliberalisme itu dan bagaimana kita seharusnya menyikapinya? Benarkah ekonomi neolib telah menggerogoti system ekonomi Indonesia yang sifatnya campuran? Tulisan singkat ini akan mencoba menguraikan pro kontra seputar utang luar negeri Indonesia tersebut serta ekonomi neolib .
2. Analisis
Neoliberalisme adalah kata lain dari “liberalisme baru”. Neoliberalisme selalu menghendaki agar aktivitas ekonomi dikelola oleh swasta dan kerap dianggap sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal dan globalisasi Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi ).Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping, kurangi anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah sehingga seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang.
Namun dalam perjalannya, konsep ekonomi neoliberal tidak dilaksanakan secara murni. Amerika serikat pun yang nota bene pendukung ekonomi neolib tapi tidak murni melaksankan ekonomi neolib.mereka tetap menerapkan proteksi dalam perekonomiannya. Terlebih lagi di Indonesia yang menganut perekonomian campuran antara mekanisme pasar dan campur tangan pemerintah. Indonesia dapat kita katakan masih jauh dari neolib, hal ini dapat kita lihat dari kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menjadi wasit bila terjadi monopoli. di Indonesia, justru peran pemerintah sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Badan-badan usaha pemerintah juga memberikan kontribusi yang cukup besar. Kalau pun mau dilihat dari peran Foreign Direct Investment (FDI) terhadap PDB, nilainya cukup kecil di Indonesia. Serta masih banyaknya subsidi yang dilakukan oleh pemerintah dan bantuan-bantuan lain seperti BLT sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM. Jika mengikuti aturan neolib, semua regulasi dan bantuan tersebut harus ditiadakan.
Neoliberal tidak dikehendaki oleh masyarakat karena dianggap akan menghacurkan perekonomian masyarakan dan menambah utang bagi pemerintah terutama di Negara-negara yang sedang berkembang. Namun, kehadiran ekonomi ini tidak akan dapat dibendung. Di Indonesia sendiri, saat ini pengaruh neoliberalisasi ekonomi sudah sangat terasa. Namun demikian kita patut bersyukur karena ekonomi liberal di Negara kita bisa di filter dan yang diliberalisasi hanyalah kegiatan ekonomi yang akan lebih efektif dan efesien jika ditangani oleh swasta. Privatisasi BUMN juga tak selamanya buruk. Dalam konteks korporasi, privatisasi justru dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas usaha (melalui peningkatan modal) BUMN, di tengah keterbatasan pemerintah untuk menyuntikkan tambahan modal. Dalam beberapa kasus, rakyat justru mendapatkan manfaat dari liberalisasi. Contoh, ketika sektor telekomunikasi belum diliberalisasikan, rakyat sangat dirugikan karena tarif telepon mahal, akibat monopoli Telkom dan Indosat. Setelah diliberalisasikan dan banyak perusahaan yang masuk ke telekomunikasi, kini tarif telepon menjadi lebih terjangkau. Jadi liberalisasi ekonomi tidak selamanya berdampak buruk tapi juga bisa mendatangkan manfaat serta bisa merangsang jiwa usaha seseorang. .
Jika kita melihat teori ekonomi Harold Domar, dalam model perencanaan dan pembangunan ekonomi, faktor yang paling dominan adalah investasi terutama investasi swasta. Menambah investasi berarti menambah utang. Semua Negara tak terkecuali negara maju pasti pernah berutang baik utang dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, kemajuan yang dicapai oleh Negara maju sekarang ini berawal dari utang. Utang ini diperlukan untuk membiayai pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebagai Negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan kapital yang besar untuk membiayai pembangunan guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dibutuhkan investasi terutama oleh swasta. Investasi mampu memobilisasi dan mengalokasi dana, tenaga kerja baik antar daerah maupun antar sektor sehingga ada penyaluran faktor produksi yang efesien dan efektif agar tercapai produktivitas yang tinggi. Secara sederhana bisa dirumuskan bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan langsung dengan investasi dan berhubungan terbalik dengan incremental capital output ratio (ICOR) atau pertumbuhan = investasi/ICOR. ICOR mencerminkan efisiensi di dalam perekonomian. Semakin kecil ICOR, semakin sedikit tambahan modal yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tertentu. Jika kita mengasumsikan bahwa ICOR = 4, maka untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 7 persen dibutuhkan investasi sebesar 28 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika target pertumbuhan dinaikkan menjadi 8 persen, maka kebutuhan investasi adalah 32 persen PDB.
Sejak republik ini berdiri, Indonesia sudah mulai melakukan pinjaman ke luar negeri. Seiring bertambahnya usia Negara, Utang pun ikut bertambah. Bila kita lihat trennya utang ini terus bertambah setiap tahun. tabel berikut memperlihatkan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun.
Tabel Perkembangan Utang Luar Negri Indonesia (US$ juta Dolar)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (februari)
69 61.897 58.791 63.763 68.914 68.575 63.094 62.021 62.253 65.446 65.738
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Depkeu
Seiring dengan peningkatan utang tersebut, kewajiban pemerintah untuk membayar cicilan dan bunganya pun semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini sangat mempengaruhi APBN Indonesia. Berikut daftar pembayaran utang dan bunganya setiap tahun.
Tabel Pembayaran Utang Luar Negeri (US$ juta Dolar)
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Pokok 4.163 4.265 4.567 4.955 5.222 5.626 5.787 6.322 6.569
Bunga 2.946 2.879 2.748 2.632 2.463 1.330 2.255 2.277 2.213
Total 7.139 7.177 7.349 7.611 7.717 6.965 8.067 8.620 8.841
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Depkeu
Komposisi dan struktur utang luar negeri Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami perubahan yang mendasar. Indonesia telah melunasi utang ke IMF pada tahun 2006 serta mengurangi utang ke badan multilateral lain seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan lembaga lainnya. Akan tetapi, proporsi utang luar negeri kita lebih banyak yang bersifat bilateral atau antarnegara, sehingga kebijakan penundaan ini harus dinegosiasikan langsung kepada negara-negara kreditor. pada akhir 2008 sampai awal 2009 nominal utang Indonesia kembali mengalami peningkatan
Kalau kita melihat secara nominal, utang luar negeri Indonesia memang terus mengalami peningakatan. Namun, secara nominal kita tidak bisa mengatakan bahwa utang luar negeri Indonesia saat ini meningkat karena keadaan tahun 1999 atau 2000 sangat jauh berbeda dengan kedaan tahun 2008 atau 2009, misalkan saja dari segi harga minyak dunia dan harga komoditi-komoditi yang lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah secara riil utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan atau tidak, kita dapat melihatnya dari Debt to GNP Ratio yaitu perbandingan/ ratio antara jumlah utang terhadap Pendapatan Nasional Bruto . Bila rasionya ≥30% maka utang dikatakan dalam keadaan krisis dan membahayakan bagi perekonomian Berikut tabel tentang Gross National Product Indonesia dan rasio utang terhadap Gross National Product.
Tabel perkembangan Gross National Product Indonesia, Utang luar negeri dan rasio utang luar negeri terhadap GNP
tahun GNP(Milyar Rupiah) Kurs(Akhir Desember) GNP(US$ juta dolar) Utang (US$ juta) Debt to GNP ratio
(1) (2) (3) (4) (5)
2001 1.684.280,5 10.400 161.950,05 58.791 36,30
2002 1.863.274,7 8.940 208.419,99 63.763 30,59
2003 2.045.583,5 8.465 241.651,92 68.914 28,52
2004 2.295.826,2 9.290 247.128,76 68.575 27,75
2005 2.774.281,1 9.830 282.225,95 63.094 22,36
2006 3.339.216,8 9.020 370.201,42 62.021 16,75
2007 3.949.321,4 9.419 419.293,07 62.253 14,85
2008 4.954.028,9 10.950 452.422,73 65.446 14,47
Berdasarkan tabel tersebut, pada tahun 2001 dan 2002 rasio utang luar negeri Indonesia terhadap pendapatan Nasional Bruto Indonesia masih berada diatas 30%. Hal ini menunjukkan bahwa defisit APBN Indonesia sangat besar sehingga harus ditutupi dengan uang luar negeri dengan nominal yang sangat besar pula. Proporsi ini berbahaya bagi perekonomian dan pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan karena pemerintah akan terbebani dengan pembayaran utang tersebut sehingga hanya sedikit dari APBN yang digunakan untuk pembangunan. Tapi sejak tahun 2003 rasio utang luar negeri terhadap GNP sudah berada dibawah 30% dan kondisi ini terus mengalami penurunan hingga mencapai 14,47% pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah mampu mandiri yang ditunjukkan dengan perekonomian yang sudah semakin kuat dan ketergantungan terhadap utang luar negeri semakin berkurang.
Ukuran utang juga dapat dilihat dari debt service ratio (DSR) . DSR ini dapat dihitung dari perbandingan/ratio antara pembayaran bunga utang + cicilan terhadap penerimaan negara dari ekspor dikali 100% . Bila DSR <20% maka utang masih dapat dikatakan dalam kondisi aman karena ditopang dengan kemampuan untuk membayarnya. tapi bila DSR ≥ 20% maka utang dalam keadaan krisis. Berikut tabel tentang nilai ekspor, total pembayaran utang dan DSR Indonesia.
Table 3. perkembangan ekspor, total pembayara utang dan DSR Indonesia
tahun Ekspor(US$ juta dolar) Pembayaran bunga+ cicilan utang (US$ juta dolar) DSR((klm3/klm2)*100% )
(1) (2) (3) (4)
2000 62.124,00 7.139 11,49
2001 56.320,90 7.177 12,74
2002 57.158,80 7.349 12,86
2003 61.058,20 7.611 12,47
2004 71.584,60 7.717 10,78
2005 85.660,00 6.965 8,13
2006 100.798,60 8.067 8,003
2007 114.100,90 8.620 7,55
2008 136.760,00 8.841 6,46
Dari tabel tersebut, tampak bahwa DSR utang Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 2002 DSR sebesar 12,86% tapi sejak tahun 2003 menurun menjadi 12,47% dan terus mengalami penurunan sehingga tinggal 6,46% pada tahun 2008. Hal ini dikarenakan perkembangan ekspor Indonesia yang semakin meningkat sehingga berimplikasi pada kemampuan membayar utang luar negeri yang semakin baik. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan Indonesia untuk membayar utang luar negri semakin meningkat walaupun secara nominal utang tersebut juga mengalami peningkatan. Hal ini berindikasi bahwa perekonomian Indonesia sudah semakin kuat dan mandiri.
Jika kita perhatikan, pada tahun 2001 dan 2002 rasio utang luar negeri Indonesia melebihi 30% yaitu masing-masing 36,30% dan 30,59%. Ratio ini sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Namun. Jika dilihat dari DSR kurang dari 20% yaitu hanya sebesar 11,49% dan 12,86%, rasio ini tidak berbahaya bagi perekonomian. Jadi walaupun pada tahun 2001 dan 2002 rasio utang luar negeri terhadap GNP melebihi 30% namun Indonesia tetap memiliki kemampuan untuk membayar utang. Sejak tahun 2003 sampai 2008 bahkan hingga sekarang kemampuan membayar utang ini sudah diikuti dengan peningkatan GNP sehingga rasio utang luar negeri terhadap GNP semakin kecil.
Jumat, 15 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About
- noval
- SAYA SEORANG MAHASISWA YANG MASIH BARU DALAM DUNIA BLOG....mohon bantuannya...
Baca aja, di jamin fun and makin suka sama anime....!!!
Best view blog gw... with Firefox 3+ & minimum monitor resolusion 1280×1024px
Template Sisi Gelap © 2010 DheTemplate.com by ireng_ajah